Cari Blog Ini

Sabtu, 20 November 2010

PERS, DARI PEMBREDELAN SAMPAI KEKERASAN (Memperingati Hari Pers Nasional ke 64)

Sejarah pers Indonesia adalah pers yang tidak pernah menghirup udara kebebasan. Pers Indonesia dari tahun ke tahun dibayangi tangan penguasa dan undang-undang, pengusaha, masyarakat, dan penegak hukum yang sewaktu-waktu bisa memberhentikan pers dan memenjarakan pekerja jurnalistik. Demikian tulisan mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadja dalam bukunya yang berjudul Tuntutan Zaman ; Kebebasan Pers dan Ekspresi, Februari 2009.

Buku yang terbitnya terhitung baru tersebut menunjukkan bahwa jaminan kebebasan pers pasca reformasi di negeri ini ternyata masih meninggalkan catatan-catatan hitam. Namun demikian, dalam peringatan hari Pers Nasional pada tanggal 9 Februari ini, semangat untuk menegakkan prinsip-prinsip jurnalisme yang independen, jujur, mencari kebenaran dan bertanggungjawab hendaknya terus bergelora disetiap sanubari wartawan dan media jurnalistik.


Pembredelan


Salah satu perilaku buruk penguasa dari dulu sampai sekarang adalah melakukan pembredelan terhadap media massa maupun elektronik yang berusaha menguak kebobrokan atau perilaku korup penguasa. Berbagai cara pun dilakukan, mulai dari menutup mulut wartawan dengan amplop sampai dengan pembredelan medianya, bahkan bila perlu membunuh wartawannya pun menjadi halal.
Kebiasaan penguasa melakukan pemberedelan pers sebenarnya sudah terjadi lama. Misalnya sejak tahun 1712, Direktur VOC melarang rencana penerbitan surat kabar pertama di Jakarta. Kalau penjajah yang melarang jelas karena memang mereka tidak ingin media menjadi senjata ampuh untuk perjuangan kemerdekaan dan mendidik masyarakat. Namun jika pembredelan dilakukan setelah kita merdeka, apa bedanya penguasa negeri ini dengan penjajah Belanda. Benar kiranya pernyataan, bahwa kita sekarang dijajah bangsa sendiri.

Berikut sejarah pembredelan, intervensi dan warning kepada beberapa media yang dapat diidentifikasikan pada berbagai delik dan tahun kejadiannya. Pertama, delik keamanan nasional dan ketertiban umum terhadap harian Kami dan Duta Masyarakat (1971), Harian Sinar Harapan (1973), Harian Nusantara, Abadi, Indonesia Raya, Kami, Jakarta Times, Suluh Berita, Express, Wenang dan Mahasiswa Indonesia (1974), majalah Newsweek (1976), koran mahasiswa UI Salemba (1977), majalah Tempo dan harian Pelita (1982), jurnal Ekuin (1983), majalah Topik dan majalah Fokus (1984).

Kedua, masuk dalam delik penghinaan terhadap majalah Matahari (1979), majalah Yaumul AL Quds (1983), majalah Expo (1984) dan majalah Editor (1989). Ketiga, delik agama terhadap tabloid Monitor yang saat itu dipimpin Arswendo Atmowiloto (1990). Keempat, delik penyiaran kabar bohong terhadap Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, Sinar Pagi dan Pop Sore (1978), serta Harian Prioritas (1987).

Kekerasan Terhadap Wartawan


Cacatan hitam lain yang mewarnai dunia pers Indonesia adalah adanya tindak kekerasan dan intimidasi kepada wartawan. Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) mencatat pada tahun 2009 ada 40 kasus kekerasan terhadap wartawan. Jumlah ini memang menurun dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 60 kasus. Namun penurunan ini bukan berarti wartawan bebas dari segala ancaman kekerasan, karena 40 kasus tersebut menunjukkan indikasi bahwa wartawan masih dianggap musuh oleh pihak-pihak yang merasa kepentingan jahatnya terganggu.

Kasus kekerasan terhadap wartawan selama tahun 2009 mencakup kasus pembunuhan wartawan Radar Bali, A. A. Narendra Prabangsa, pemukulan (20 kasus), larangan meliput (4 kasus), tuntutan hukum (7 kasus), penyanderaan (2 kasus), intimidasi (1 kasus), demonstrasi (2 kasus) dan sensor (2 kasus). Disamping itu, kebebasan pers semakin terancam pula ketika ada pemanggilan terhadap dua pimpinan media cetak nasional, Harian Kompas dan Harian Seputar Indonesia untuk memberikan keterangan kepada penyidik di Mabes Polri, November 2009 berkaitan dengan pemberitaan tentang rekaman dugaan rekayasa kasus dua pimpinan KPK nonaktif, Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto yang diputar di Mahkamah Konstitusi (MK).

Berbeda dengan AJI, Catatan Akhir Tahun 2009 Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH) Pers memberikan data yang lebih memperihatinkan bahwa kekerasan yang dialami oleh wartawan sepanjang tahun 2009 mencapai 71 kasus, meningkat 54 kasus dari tahun 2008. Dari 71 kasus itu, 33 merupakan kasus kekerasan fisik berupa penganiayaan, pemukulan, pelemparan, pengeroyokan, hingga pembunuhan. Sedangkan sisanya adalah kekerasan nonfisik dalam bentuk larangan peliputan, penghapusan hasil rekaman berita, ancaman atau teror, dan laporan kepada polisi atas hasil karya jusnalistik yang dianggap mencemarkan nama baik. Anehnya, pelaku kekerasan terhadap pers saat ini tidak hanya dilakukan oleh penguasa atau oknum aparat penegak hukum saja, tetapi juga pengusaha, masyarakat bahkan politisi. Politisi di parlemen melakukannya dengan merevisi UU Pers ke arah pengekangan kebebasan pers seperti era orde baru.

Perlindungan Pers


Masih adanya pengekangan kebebasan pers melalui berbagai modusnya dengan pelaku yang makin variatif menunjukkan kesadaran akan arti penting kehadiran pers dalam kehidupan berdemokrasi masih minim. Sebagai bentuk kesadaran sosial, kiranya sosialisasi terhadap peran penting pers harus terus dilakukan kepada semua elemen bangsa ini.

Kemerdekaan pers selain dijamin oleh Pasal 28 Konstitusi, juga diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU No 40/1999 tentang Pers, bahwa Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Pelanggaran terhadap pasal ini diancam dengan pidana penjara maksimal 2 tahun atau denda maksimal 500 juta. Begitupula terhadap pekerja jurnalistik, dalam Pasal 8 disebutkan bahwa Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Negara yang ingin proses demokrasinya berjalan dengan baik dan semangat reformasi terus terjaga, maka pers yang bebas, kritis, sehat dan bertanggungjawab, menjadi elemen pendukung utama untuk mewujudkannya. Karena proses demokrasi dan reformasi tanpa pers adalah sebuah keniscayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar